Mendagri Ungkap Rahasia 4 Pulau Aceh Milik Sumut?

Mendagri Ungkap Rahasia 4 Pulau Aceh Milik Sumut?
Sumber: Liputan6.com

Presiden Prabowo Subianto telah mengambil keputusan penting terkait status empat pulau yang sempat menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara. Keempat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Ketek, kini secara resmi tetap berada di bawah administrasi Provinsi Aceh. Keputusan ini mengakhiri polemik yang telah berlangsung cukup lama. Penjelasan rinci mengenai latar belakang keputusan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

Mendagri Tito Karnavian memberikan klarifikasi yang cukup komprehensif dalam konferensi pers di Kantor Presiden. Beliau memaparkan sejumlah poin penting terkait sejarah dan proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan. Penjelasannya diharapkan dapat menjawab berbagai pertanyaan dan keraguan publik.

1. Dasar Hukum Keempat Pulau Tetap Milik Aceh

Mendagri Tito menjelaskan bahwa dasar penetapan keempat pulau tersebut kembali ke Aceh didasarkan pada rapat Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi tahun 2017. Tim ini terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kemendagri, Badan Informasi Geospasial, Lapan, BRIN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hasil rapat tersebut didasarkan pada data dan masukan yang telah dikumpulkan. Kesimpulannya, keempat pulau tersebut secara geografis dan administratif lebih tepat berada di bawah Aceh.

Kesimpulan Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi mengacu pada hasil verifikasi tahun 2008. Verifikasi tersebut menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut tidak terdaftar dalam administrasi Provinsi Aceh pada saat itu.

Namun, pada tahun 2008 terdapat perbedaan pencatatan antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara. Pemerintah Aceh saat itu tidak memasukkan keempat pulau tersebut dalam wilayah administrasinya.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di bawah Gubernur Syamsul Arifin memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah.

Hal ini menjadi dasar pertimbangan bagi Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi pada tahun 2017. Meskipun ada koordinat yang tercatat, ketidakadaan nama keempat pulau tersebut dalam administrasi Aceh pada tahun 2008 menjadi salah satu faktor penting.

2. Alasan Keempat Pulau Sempat Masuk Wilayah Sumatera Utara

Proses pengkajian ulang status keempat pulau ini dimulai pada tahun 2022, di era Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Pada saat itu, berdasarkan data yang ada, keempat pulau tersebut dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Tapanuli Tengah.

Hal ini menimbulkan keberatan dari Pemerintah Provinsi Aceh, yang kemudian mengajukan protes resmi. Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara saat itu sama-sama menunjukkan bukti dan dokumen historis yang mendukung klaim masing-masing.

Mendagri Tito menjelaskan bahwa Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf (2008), tidak memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah administrasi Aceh. Sebaliknya, Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin (2008), memasukkannya ke dalam wilayah Tapanuli Tengah.

Data yang digunakan pada tahun 2008 dan 2009 menjadi dasar penentuan administrasi pulau-pulau tersebut. Namun, Aceh keberatan karena koordinat yang digunakan dianggap tidak akurat.

Oleh karena itu, pada tahun 2017, keempat pulau tersebut kemudian dimasukkan kembali ke dalam administrasi Sumatera Utara berdasarkan data yang ada saat itu. Hal ini menimbulkan polemik yang baru kemudian diselesaikan.

3. Peran Edy Rahmayadi dan Dokumen Historis dalam Penyelesaian Polemik

Pada tahun 2022, di masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, Kemendagri kembali melakukan pengkajian terkait status keempat pulau tersebut. Pengkajian ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.

Pengkajian ini menghasilkan temuan dokumen penting, yaitu surat kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar. Surat ini disaksikan oleh Menteri Rudini dan menjadi bukti historis yang krusial.

Surat kesepakatan tersebut merujuk pada Staats Blaad No 604 Tahun 1908 dan peta topografi TNI AD tahun 1978 sebagai acuan batas wilayah antara Tapanuli Tengah dan Aceh. Hal ini memberikan gambaran lebih jelas mengenai sejarah administrasi wilayah.

Meskipun dokumen tersebut awalnya hanya berupa fotokopi, Kemendagri mempertimbangkannya sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan. Namun, berdasarkan data dan dokumen baru yang lebih lengkap dan akurat, keputusan akhir kemudian menetapkan keempat pulau tersebut kembali ke Aceh.

Setelah pengkajian dan pertimbangan yang matang, akhirnya pemerintah pusat memutuskan untuk mengembalikan keempat pulau tersebut ke wilayah Aceh. Keputusan ini mengakhiri polemik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Keputusan Presiden Prabowo dan penjelasan Mendagri Tito Karnavian ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan sekaligus menjadi pembelajaran berharga dalam pengelolaan administrasi kepulauan di Indonesia. Proses ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antar-pemerintah daerah dan pusat dalam menjaga keakuratan data dan pemetaan wilayah. Transparansi dan penggunaan data yang valid menjadi kunci penyelesaian sengketa serupa di masa mendatang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *