Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara Terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres ini, yang menimbulkan kontroversi, menetapkan perlindungan bagi jaksa dengan melibatkan Polri dan TNI. Namun, langkah ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menilai Perpres tersebut tidak urgen dan justru menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap demokrasi dan prinsip negara hukum.
Perpres 66/2025 dinilai sebagai respon atas surat telegram Panglima TNI/KSAD yang sebelumnya telah mengerahkan hampir enam ribu personil TNI ke Kejaksaan. Koalisi menilai, perpres ini merupakan upaya untuk melegitimasi tindakan tersebut. Keberadaan Perpres ini dianggap tidak diperlukan karena Presiden, dalam sistem presidensial, sudah memiliki wewenang untuk memerintahkan Jaksa Agung atau meminta bantuan kepolisian untuk pengamanan kejaksaan. Tidak ada ancaman nyata yang membenarkan keterlibatan TNI dalam skala besar seperti yang terjadi.
Perpres 66/2025: Tidak Urgen dan Tidak Proporsional
Koalisi Masyarakat Sipil menilai Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI. Hendardi dari Setara Institut menegaskan bahwa kondisi kejaksaan saat ini normal dalam menangani kasus hukum. Tidak ada ancaman militer yang mengharuskan pengerahan TNI dalam jumlah besar.
Penerbitan Perpres ini dianggap sebagai bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima TNI dalam mengeluarkan surat telegram tersebut. Seharusnya, Presiden mencabut telegram tersebut, bukan malah mengeluarkan Perpres baru. Langkah ini justru dianggap melegitimasi kesalahan tersebut.
Dampak Buruk terhadap Demokrasi dan Negara Hukum
Perpres 66/2025 dinilai sebagai model politik *fait accompli* yang tidak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi. Kesalahan hukum bukannya dikoreksi, melainkan dilegalisasi. Praktik kekuasaan dalam menjalankan hukum seperti ini akan merusak prinsip negara hukum.
Hal ini mengingatkan pada kasus pengangkatan Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. Kesalahan pengangkatan tersebut kemudian dilegalisasi dengan Perpres 148/2024 yang memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan Seskab. Perpres 66/2025 dinilai mengikuti pola yang sama, yaitu melegitimasi kesalahan sebelumnya.
Kekhawatiran atas Kembalinya Dwifungsi TNI
Koalisi Masyarakat Sipil juga khawatir Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya dwifungsi TNI. Perpres ini membawa militer masuk ke wilayah sipil, yaitu kejaksaan. Kejaksaan sebagai penegak hukum, memiliki kewenangannya sendiri, sedangkan TNI adalah alat pertahanan negara. Mencampuradukkan keduanya dianggap sebagai langkah nyata untuk membangkitkan dwifungsi TNI.
Perpres ini juga dinilai tidak merujuk pada UU TNI maupun UU Polri, meskipun substansi perpres banyak mengatur pelibatan kedua institusi dalam pengamanan kejaksaan. Dasar hukumnya hanya mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD NKRI 1945, tanpa penjelasan yang jelas terkait pengerahan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer karena tidak ada batasan yang jelas. Keterlibatan TNI hanya seharusnya terbatas pada bidang pidana militer, bukan seluruh tugas dan fungsi kejaksaan. Koalisi mendesak evaluasi dan peninjauan ulang Perpres 66/2025 oleh Presiden dan DPR.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat Perpres 66/2025 perlu dievaluasi secara menyeluruh. Penerbitan Perpres yang tidak mengikuti aturan pembentukan perundang-undangan yang benar merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani. Perpres ini berpotensi merusak prinsip negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Keberadaan perpres ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan pemerintah.