Atasi Penyesalan: 3 Strategi Stoikisme untuk Hidup Tenang

Atasi Penyesalan: 3 Strategi Stoikisme untuk Hidup Tenang
Sumber: Poskota.co.id

Pernahkah Anda terbangun dengan beban penyesalan? Kenangan akan kata-kata yang terlontar saat emosi memuncak, keputusan terburu-buru, atau peluang yang hilang, seringkali menghantui. Rasa menyesal itu begitu kuat, menjerat kita di masa lalu yang tak bisa diubah. Namun, ada jalan keluar. Stoikisme, sebuah filosofi kuno, menawarkan strategi ampuh untuk melepaskan beban ini dan menjalani hidup yang lebih damai.

Stoikisme mengajarkan kita untuk menerima dan belajar dari pengalaman masa lalu, bukan terjebak di dalamnya. Dengan memahami akar penyesalan dan menerapkan strategi yang tepat, kita dapat mengubah penyesalan menjadi kekuatan pendorong untuk perbaikan diri.

Memahami Penyesalan dari Kacamata Stoik

Para filsuf Stoa, seperti Seneca dan Marcus Aurelius, memberikan perspektif unik tentang penyesalan. Seneca dalam “Letters from a Stoic” menulis, “Dua hal harus dicabut dari akar: rasa takut akan penderitaan di masa depan, dan kenangan atas penderitaan di masa lalu; karena yang terakhir tidak lagi menjadi urusanku, dan yang pertama belum menjadi urusanku.” Penyesalan, bagi mereka, adalah kondisi di mana peristiwa masa lalu menguasai hidup di masa kini.

Kita terpaku pada hal yang tak bisa diubah, menolak takdir. Bayangkan Anda marah pada pasangan karena tumpukan piring kotor. Keesokan harinya, penyesalan muncul karena kehilangan kendali. Ini bukan soal piring kotor, tetapi tentang ekspektasi yang tak terpenuhi. Penyesalan adalah masalah internal, yang perlu kita diagnosis dan sembuhkan sendiri. Marcus Aurelius dalam “Meditations” menekankan, “Hal eksternal bukanlah masalah. Penilaianmulah yang jadi masalah. Dan itu bisa kamu ubah sekarang juga.”

Mengapa Kita Menyesali? Menguak Akar Emosi Negatif

Penyesalan, meskipun seringkali dianggap sebagai emosi negatif yang harus dihindari, adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Daniel Pink, penulis buku laris dan pendiri American Regret Project, menemukan bahwa 82 persen orang Amerika mengalami penyesalan setidaknya sesekali.

Ia menyebutnya “emosi yang tak tergantikan,” namun juga “alat positif untuk memperbaiki hidup.” Kita tidak bisa lari dari perasaan negatif untuk benar-benar berkembang. Samuel Johnson, seorang penulis, mengatakan, “Ketika aku menengok kembali tekad-tekad untuk memperbaiki diri yang dibuat dan dilanggar tahun demi tahun… mengapa aku masih mencoba lagi? Aku mencoba karena perubahan itu perlu dan keputusasaan adalah kejahatan.” Penyesalan memang tak terhindarkan, tapi tindakan dan pola pikir kita tetap menjadi pilihan.

Pertanyaannya bukan “Mengapa saya menyesal?”, melainkan: Bagaimana saya menghadapi penyesalan? Bagaimana saya bangkit dari penyesalan? Bagaimana saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik karena penyesalan ini?

3 Strategi Stoik Ampuh untuk Menghadapi dan Mengatasi Penyesalan

Stoikisme menawarkan tiga strategi kunci untuk mengatasi penyesalan.

1. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan

Epictetus mengajarkan untuk membedakan antara hal yang bisa dan tak bisa kita kendalikan. “Setiap peristiwa memiliki dua pegangan: satu yang bisa diangkat, dan satu lagi yang tidak.” Masa lalu sudah terjadi dan tak bisa diubah. Terperangkap dalam penyesalan tak ada gunanya.

Dr. Edith Eger, penyintas Holocaust, berkata bijak: “Kalau aku tahu yang aku tahu sekarang, aku pasti bertindak berbeda. Selesai. Rasa bersalah itu milik masa lalu, dan satu hal yang tak bisa kamu ubah adalah masa lalu.” Lepaskan. Melepaskan adalah kunci transformasi sejati.

2. Cintai Takdirmu (Amor Fati)

Setelah memahami hal yang bisa kita kendalikan, langkah selanjutnya adalah merespons dengan bijak, terlepas dari kendali kita. Marcus Aurelius berkata, “Api yang menyala-nyala membuat nyala dan terang dari apapun yang dilemparkan ke dalamnya.” Amor Fati, atau mencintai takdir, berarti menerima semua peristiwa, baik buruk, sebagai bagian dari diri dan perjalanan hidup.

Cleanthes mengatakan, “Takdir membimbing mereka yang menerimanya, dan menyeret mereka yang menolaknya.” Dengan Amor Fati, kita tumbuh melalui badai kehidupan. Marcus Aurelius menggambarkan, “Mengapa kau mengeluh soal duri di jalan? Itu seperti mengeluh soal serbuk kayu di bengkel tukang kayu. Itu bagian dari proses.”

3. Mempersiapkan Diri untuk yang Terburuk (Premeditatio Malorum)

Seneca menyarankan untuk membayangkan semua kemungkinan, termasuk yang terburuk. Sebelum melakukan sesuatu yang penting, bayangkan skenario terburuk. Ryan Holiday menerapkan ini sebelum berpidato, membayangkan mik rusak, presentasi gagal, dan audiens tak tertarik.

Dengan membayangkan yang terburuk, kita lebih siap dan tangguh menghadapi kegagalan. Booker T. Washington selalu bersiap dengan kemungkinan terburuk: ”Aku berharap hari yang sukses, tapi aku juga siap mendengar sekolahku terbakar, atau difitnah, atau dikritik di publik atas hal yang tidak kulakukan.” Epictetus bahkan mengajarkan ini dalam kegiatan sepele, seperti mandi.

Dengan melatih Premeditatio Malorum, kita tak akan terlalu terpukul jika hal buruk terjadi. Kita bisa berkata, “Aku sudah melakukan yang terbaik. Dan aku tidak menyesal.”

Cintai hidup Anda, cintai diri Anda hari ini, dan cintai takdirmu. Lepaskan penyesalan, fokus pada hal yang bisa dikendalikan, dan bersiaplah untuk segala kemungkinan. Dengan begitu, Anda dapat mengubah penyesalan menjadi pelajaran berharga untuk pertumbuhan dan kebijaksanaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *