Luka Mendalam? Survival Mode Bukan Gangguan Mental

Luka Mendalam? Survival Mode Bukan Gangguan Mental
Sumber: Poskota.co.id

Kita seringkali terjebak dalam siklus menyalahkan diri sendiri atas reaksi emosional yang muncul akibat kelelahan hidup. Kondisi ini, seringkali tanpa disadari, mengarah pada “survival mode”—suatu mekanisme pertahanan diri yang membuat kita selalu siaga dan cemas.

Namun, alih-alih melawan “survival mode” ini, artikel ini mengajak Anda untuk mengubah perspektif dan memeluk sisi diri yang selama ini berjuang untuk bertahan. Dengan pendekatan yang penuh kasih sayang terhadap diri sendiri, kita dapat membuka jalan menuju penyembuhan emosional dan rasa aman yang sejati.

Mengenal “Survival Mode”: Bukan Musuh, Melainkan Pelindung

Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, banyak dari kita yang secara tak sadar memasuki “survival mode”. Kondisi ini ditandai dengan kewaspadaan tinggi, kecemasan, dan kecenderungan untuk bersikap keras pada diri sendiri.

Seringkali, “survival mode” disalahartikan sebagai masalah yang harus dihilangkan. Padahal, ia merupakan sistem alarm tubuh yang melindungi kita dari kehancuran mental. Ia berjasa menjaga kita tetap tegar hingga saat ini.

Menurut akun Instagram @Vibrasi_Syukur, “survival mode” bukanlah kerusakan, melainkan respon alami tubuh dan jiwa terhadap ancaman, meskipun ancaman tersebut mungkin tak lagi nyata. Melawannya terus menerus hanya akan meningkatkan kelelahan fisik dan mental.

“Survival Mode” dan Kesalahpahaman Produktivitas

Banyak orang menganggap “survival mode” sebagai penghalang produktivitas. Mereka merasa mudah panik, overthinking, dan sulit berkinerja optimal.

Padahal, di balik “kebisingan” mental tersebut, terdapat sisi diri yang membutuhkan pemahaman, bukan pengabaian atau perlawanan. Menghilangkan “survival mode” tanpa memahami akar permasalahannya hanya akan memperburuk kelelahan emosional.

Sisi diri yang kita anggap mengganggu ini mungkin pernah, dan mungkin masih, menjadi pelindung terbaik kita dari trauma masa lalu atau lingkungan yang tidak aman.

Dari Melawan Menuju Memeluk Diri Sendiri: Sebuah Transformasi Emosional

Daripada bertanya “Bagaimana cara mengusir ‘survival mode’?”, lebih bijak untuk bertanya: “Seberapa lamakah aku melawan bagian diriku yang hanya ingin aku selamat?”.

Transformasi emosional dimulai dengan pengakuan bahwa kita bukannya rusak, melainkan lelah. Dari kelelahan tersebut, muncul kebutuhan akan rasa aman, bukan sekadar kekuatan untuk terus bertahan.

Untuk mencapai hal ini, kita perlu:

  • Berhenti menyalahkan reaksi emosional yang muncul. Reaksi tersebut adalah sinyal, bukan kelemahan.
  • Menerima rasa panik dan cemas sebagai alarm tubuh, bukan sebagai kelemahan pribadi.
  • Membangun hubungan dialogis dengan tubuh dan emosi kita sendiri. Belajar mendengarkan apa yang ingin disampaikan tubuh.

Journaling, atau menulis reflektif, adalah alat yang efektif untuk memulai perjalanan ini. Ini bukan tentang menjadi “lebih baik lebih cepat”, melainkan memberi ruang bagi suara hati yang selama ini tertekan.

Coba tulis tiga kalimat ini:

  1. Bagian diriku yang selama ini berjaga adalah…
  2. Aku ingin bilang terima kasih karena…
  3. Mulai hari ini, aku izinkan diriku untuk merasa…

Tiga kalimat sederhana ini dapat menjadi jembatan antara rasa marah pada diri sendiri dan rasa syukur pada bagian diri yang telah melindungi kita.

Membangun Rasa Aman di Tengah Rutinitas Kehidupan

Setelah memahami peran “survival mode”, tantangan selanjutnya adalah menciptakan lingkungan yang aman secara emosional.

Ini berarti mengurangi tekanan internal, seperti terlalu keras pada diri sendiri saat gagal, memaksakan produktivitas tanpa istirahat, dan mengabaikan sinyal kelelahan mental.

Langkah-langkah kecil untuk menciptakan rasa aman:

  • Beri waktu untuk bernapas dan beristirahat. Istirahat yang cukup sangat penting.
  • Buat rutinitas harian yang stabil dan konsisten. Rutinitas memberikan rasa aman.
  • Jauhi relasi atau lingkungan yang menguras energi. Lingkungan yang mendukung penting untuk pemulihan.
  • Belajar mengkomunikasikan kebutuhan emosional tanpa rasa bersalah. Komunikasi yang sehat sangat penting.

Kelelahan bukan tanda kekalahan, melainkan sinyal bahwa kita telah terlalu lama berjalan tanpa jeda. Bagian diri yang telah menjaga kita, meskipun dipenuhi kecemasan dan panik, perlu dihargai, bukan dilupakan.

Mengubah pandangan kita terhadap “survival mode” dari musuh menjadi sekutu adalah langkah awal menuju pemulihan jangka panjang. Pulang ke diri sendiri adalah bentuk perlawanan yang penuh kasih di tengah tuntutan produktivitas yang tak henti.

Membangun rasa aman membutuhkan waktu dan usaha, namun selalu ada langkah kecil yang bisa kita ambil setiap hari: berhenti menyalahkan diri, mulai mendengarkan tubuh dan emosi, dan menulis sebagai bentuk pengakuan diri. Anda tidak sendirian, dan Anda tidak perlu selalu kuat. Anda layak merasa aman.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *