Trauma Bonding: Mengapa Kita Kembali Pada Orang yang Menyakiti Kita?

Trauma Bonding: Mengapa Kita Kembali Pada Orang yang Menyakiti Kita?
Sumber: Poskota.co.id

Kembali pada mantan yang pernah menyakiti kita sering dianggap sebagai kelemahan. Namun, menurut pakar kesehatan mental Gayathri Arvind, fenomena ini lebih kompleks daripada sekadar keputusan emosional sesaat. Ada mekanisme psikologis yang berperan, menjadikan pemutusan hubungan yang menyakitkan menjadi hal yang sulit dilakukan. Artikel ini akan mengupas beberapa faktor yang menyebabkan seseorang kembali pada hubungan yang merugikan.

Gayathri menjelaskan adanya “kait emosional tak terlihat” yang tertanam dalam sistem saraf dan memori masa lalu. Kait-kait ini menciptakan pola hubungan yang sulit dilepaskan, meskipun hubungan tersebut jelas-jelas menyakitkan.

Iblis yang Dikenal: Kenangan dan Pola Perilaku

Otak manusia menyimpan apa yang disebut “survival memory,” yaitu memori yang menyimpan pola perilaku, bukan fakta semata.

Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak stabil secara emosional mungkin belajar mengasosiasikan cinta dengan ketidakpastian dan kecemasan.

Akibatnya, otak mengaitkan cinta dengan rasa tidak aman, bahkan jika itu menyakitkan. Yang sudah dikenal, sekurang-kurangpun, lebih ‘aman’ daripada yang tidak dikenal.

Sindrom ‘Sekali Lagi’: Keinginan akan Penutupan

Seringkali, kembalinya seseorang pada mantan bukanlah karena cinta, tetapi karena rasa yang belum terselesaikan.

Ketiadaan penutupan atau klarifikasi dari hubungan sebelumnya membuat otak terus mencari jawaban dan kepastian.

Keinginan ini mengalahkan logika dan mendorong individu untuk kembali, meskipun pasangan tersebut mungkin tidak akan pernah memberikan jawaban yang dicari.

Perangkap Titik Manis: Pengaruh Variable Reinforcement

Bahkan dalam hubungan yang tidak sehat, selalu ada momen-momen manis yang sulit dilupakan.

Otak manusia rentan terhadap “variable reinforcement,” yaitu hadiah emosional yang datang secara tidak menentu.

Pesan hangat di tengah ketidakpedulian, misalnya, memicu keinginan untuk kembali merasakan sensasi tersebut. Mirip seperti judi, individu mengejar kemungkinan mendapatkan kembali momen-momen positif tersebut.

Perasaan yang Hilang: Gejala Penarikan Seperti Putus Zat Adiktif

Setelah putus, yang paling menyakitkan bukanlah pertengkaran, melainkan keheningan sesudahnya.

Reaksi ini mirip dengan gejala putus zat adiktif. Individu merindukan perasaan yang diberikan mantan, bukan mantan itu sendiri.

Rasa nyaman, koneksi, dan validasi yang hilang menciptakan rasa panik dan membuat individu merasa tidak mampu hidup tanpanya.

Gayathri menyarankan agar langkah pertama untuk keluar dari siklus ini adalah dengan mengenali jenis “kait emosional” yang berperan. Kesadaran ini akan mengaktifkan logika dan membantu menghentikan spiral negatif sebelum berlanjut. Namun, kesadaran saja tidak cukup; penyembuhan akar masalah melalui terapi sangat penting untuk memutus pola hubungan yang merusak tersebut. Memahami mekanisme psikologis di baliknya adalah kunci untuk memutus siklus ini dan membangun hubungan yang sehat di masa depan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *